Tampilkan postingan dengan label witir. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label witir. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 19 Desember 2009

QIYAMUL-LAIL [5-B]

KAIFIYAT SHALAT WITIR

Tata cara melaksanakan shalat witir itu ada dua cara:
Kedua : Memberi salam pada rakaat yang paling akhir dan duduk tasyahhud
Pada rakaat sebelum akhir.


Cara Kedua ini berlaku untuk shalat witir 7 dan 9 rakaat 3 rakaat, sebagaimana riwayat berikut ini :

“Sa’ad bin Hisyam berkata: aku bertanya (kepada Aisyah): ceritakanlah kepadaku tentang shalat witir Nabi saw! Ia menjawab: Beliau berwitir 8 rakaat tidak duduk melainkan pada yang kedelapan kemudian berdiri lalu sholat 1 rakaat yang lain, tidak duduk melainkan pada yang kedelapan dan kesembilan dan tidak memberi salam kecuali pada rakaat yang kesembilan, sesudah itu beliau shalat 2 rakaat sedang beliau dalam keadaan duduk, maka itu (jumlahnya) sebelas rakaat wahai anakku. Ketika beliau sudah mencapai usia tua dan menjadi gemuk, beliau berwitir 7 rakaat, tidak duduk melainkan pada rakaat keenam dan ketujuh dan tidak mengucapkan salam melainkan pada rakaat ketujuh kemudian beliau shalat 2 rakaat dengan duduk, maka itu 9 rakaat wahai anakku� (HR Abu Dawud).

Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dengan lafadz:
“…..dan beliau shalat 9 rakaat, tidak duduk melainkan pada rakaat kedelapan, maka beliau berdzikir, bertahmid dan berdoa kepada Allah kemudian bangkit dan beliau tidak mengucap salam ….� (HR. Muslim).

Adapun lafadz Imam Nasai sebagai berikut :
“….beliau tidak duduk padanya kecuali pada rakaat kedelapan dan beliau bertahmid, bershalawat kepada Nabi-Nya saw dan berdoa diantaranya serta tidak memberi salam� (HR. Nasai).



Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa shalat witir 9 rakaat itu tidak duduk melainkan pada rakaat kedelapan dan kesembilan dan tidak memberi salam melainkan pada duduk dui rakaat kesembilan. Duduk pada rakaat kedelapan itu diistilahkan duduk tasyahhud awal bagi sholat witir 9 rakaat. Adapaun duduk pada rakaat keenam bagi sholat witir 7 rakaat walaupun tidak tegas menunjukkan bahwa duduknya itu dengan membaca tasyahhud tetapi karena haditsnya menjadi satu dengan shalat witir 9 rakaat maka dapat diistinbath bahwa duduknya juga membaca tasyahhud.

Dengan demikian shalat 7 rakaat itu duduk tasyahhud pada rakaat yang ke enam tetapi tidak memberi salam padanya melainkan pada rakaat ketujuh sesudah baca tasyahhud. Hal ini telah dijelaskan dalam hadits berikut :

“Dari Ummu Salamah, dia berkata : Rasulullah saw shalat witir tujuh (rakaat) dan lima (rakaat) beliau tidak pisahkan antara rakaat-rakaatnya dengan salam dan perkataan.� (HR Ahmad, Nasai dan Ibnu Majah).

Berdasarkan keterangan-keterangan sebagaimana telah diuraikan di atas, jelaslah bahwa shalat witir itu tidak dipisahkan dengan salam di antara rakaat-rakaatnya dan juga tidak duduk tasyahhud pada tiap-tiap dua rakaat kecuali shalat witir 7 rakaat duduk tasyahhud pada rakaat keenam dan shalat witir 9 rakaat pada rakaat kedelapan.
Menurut ketentuan pokok tiap-tiap shalat yang lebih dari dua rakaat wajib duduk tasyahhud pada tiap-tiap dua rakaat. Ketentuan ini tidak berlaku karena ada hadits-hadits yang jelas dan tegas meniadakan duduk tasyahhud pada tiap-tiap dua rakaat shalat witir. Adapun shalat witir 7 rakaat dan 9 rakaat berlaku pula ketentuan khusus pada keduannya.
Ketentuan pokok bahwa tiap-tiap dua rakaat bagi shalat yang lebih dari dua rakaat itu umum, kemudian dikecualikan oleh dalil lain yang menunjukkna bahwa bagi shalat witir berlaku ketentuan khusus. Jadi antara keduannya tidak bertentangan tetapi antara keduanya berlaku antara umum dan khusus.
Adapaunshalat witir 7 rakaat ada riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah saw tidak duduk pada rakaat keenam tetapi langsung duduk tasyahhud akhir pada rakaat ketujuh.

“ Dari Aisyah ia berkata: ketika Rasulullah saw telah mencapai usia tua dan menjadi gemuk, beliau shalat tujuh rakaat, beliau tidak duduk melainkan pada rakaat yang terakhir dan beliau shalat dua rakaat dengan duduk sesudah memberi salam, maka itu sembilan rakaat wahai anakku.� (HR An-Nasai)

Menurut Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam kitab Shahih Sunan an-Nasai, juz:1, hal:375 no. 1671 sanad hadits ini sahih. Maka dengan demikian shalat witir tujuh rakaat itu boleh dengan dua cara:
Pertama : duduk tasyahhud awal pada rakaat keenam dan duduk tasyahhud akhir pada rakaat ke tujuh terus salam.
Kedua : duduk tasyahhud akhir saja pada rakaat ketujuh terus salam tanpa duduk pada rakaat ke enam.

Disalin dari buku SHIFAT DAN KAIFIYAT QIYAMUL-LAIL oleh Aliga Ramli, Lc

Rabu, 16 Desember 2009

QIYAMUL-LAIL [5-A]

KAIFIYAT SHALAT WITIR

Tata cara melaksanakan shalat witir itu ada dua cara:
Pertama : Memberi salam pada rakaat yang akhir, tanpa duduk tasyahhud
di antara rakaat-rakaatnya.
Cara pertama ini berlaku untuk shalat witir 1 rakaat 3 rakaat dan
5 rakaat.

a. Shalat witir 1 rakaat
" Dari Ibnu Umar, ia berkata : Rasulullah saw bersabda: witir satu rakaat pada akhir malam " (HR. Muslim)

b. Shalat witir 3 rakaat
" Dari Ubay bin Ka'ab, dia berkata : Rasulullah saw shalat witir (membaca) sabbihisma rabbikal a'la dan Qul ya ayyuhal kafirun dan Qul Huwallahu ahad, serta tidak memberi salam kecuali pada rakaat yang terakhir." (HR. an-Nasai).

Perlu ditegaskan di sini bahwa shalat witir yang 3 rakaat ini, selain hanya satu salam juga tidak duduk tasyahhud awal pada rakaat kedua. Sebab, Rasulullah saw melarang menyerupakan dengan shalat magrib. Rasulullah bersabda :

"Jangan kalaian shalat witir 3 rakaat, shalatlah witir 5 rakaat atau 7 rakaat, jangan serupakan dengan shalat Magrib." (HR Daraquthni).

Larangan dalam hadits ini adalah menyerupakan shalat witir 3 rakaat dengan shalat magrib, bukan melarang mengerjakan shalat witir 3 rakaat. Sebab, shalat witir 3 rakaat pernah dikerjakan Rasulullah saw dalam banyak riwayat yang shah. Penyerupaan antara shalat witir 3 rakaat dengan shalat maghrib yang dilarang, apabila duduk tasyahhud pada rakaat kedua. Karena itu shalat witir 3 rakat itu langsung tanpa duduk tasyahhud pada rakaat kedua. Dengan demikian terbedalah dengan shalat magrib dan terhindar dari larangan "jangan serupakan dengan shalat maghrib". Untuk menguatkan pendapat ini,marilah kita petrhatikan hadits-hadits berikut ini.

"Dari Aisyah ia berkata: Rasulullah saw pernah shalat witir 3 rakaat, beliau tidak duduk melainkan pada rakaat yang terakhir." (HR. Ahmad, Nasai, Baihaqi dan Hakim).

"Dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah saw pernah shalat 3 rakaat dan beliau tidak memisahkan antara rakaat-rakaatnya." (HR. Ahmad)

"Dari Aisyah bahwa Rasulullah saw tidak memberi salam pada dua rakaat shalat witir." (HR Nasai)

Walaupun hadits-hadits di atas masih diperselisihkan tentang shah dan tidaknya, tetapi isi kandungannya tetap dapat dipakai karena sesuai dengan makna yang terkandung hadits-hadits yang shah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa shalat witir 3 rakaat itu dengan satu salam tanpa duduk tasyahhud awal pada rakaat kedua tetapi langsung ke rakaat ketiga.

c. Shalat witir 5 rakaat
" Dari Aisyah ia berkata: Rasulullah pernah shalat malam 13 rakaat , dan belaiu shalat witir 5 rakaat dari padanya, beliau tidak duduk pada rakaat-rakaat itu melainkan pada rakaat yang terakhir." (HR. Muslim)

Berdasarkan hadits-hadits di atas, maka shalat witir 1 , 3 dan 5 rakaat dengan satu attahiyyat pada rakaat terakhir dan satu salam.

Bersambung : Kaifiyat shalat witir cara ke -2...

Disalin dari buku SHIFAT DAN KAIFIYAT QIYAMUL-LAIL oleh Aliga Ramli, Lc

Minggu, 13 Desember 2009

QIYAMUL-LAIL [4-B]

KAIFIYAT QIYAMUL-LAIL

2. Tidak terdapat satu larangan dari Rasulullah saw yang tidak membolehkan shalat sunnat serupa dengan shalat wajib. Apabila ada larangan demikian shalat lail yang dikerjakan 2 rakaat salam, 2 rakaat salam itupun tidak boleh, sebab menyerupai shalat subuh. Adapun yang ada larangannya ialah shalat witir 3 rakaat tidak boleh diserupakan dengan shalat magrib. Ini larangan menyerupakan sesuatu yang khusus dengan yang khusus pula, bukan larangan secara umum.
Sahalat witir 3 rakaat itu akan serupa dengan shalat Magrib, apakah pada rakaat kedua duduk tasyahhud awal. Karena itu shalat witir 3 rakaat itu tidak duduk pada rakaat kedua, tetapi langsung tanpa tasyahhud awal.
Adapaun tentang hadits-haditsnya akan kita bawakan nanti setelah membahas tata-cara shalat witir. Dengan demikian, alasan dan dasar yang berpendapat bahwa shalat lail 4 rakaat itu langsung tanpa tasyahhud awal itu lemah dan tertolak.

Golongan kedua : Shalat lail itu harus dikerjakan dua rakaat, dua rakaat memberi salam pada tiap dua rakaat.

Pendapat ini diantaranya dikemukakan oleh Ustadz Saleh Muhammad Bazeid (alm) dalam bukunya "Betulkah shalat Tarawih anda", beliau menulis demikian.
Apabila kita camkan benar-benar hadits Aisyah ra, bahwa ia menjawab penanya tentang jumlah, kebaikan dan panjangnya dalam setiap emapat rakaat. Aysyah tidak menyebutkan tentang tasyahhud maupun slaam, di dua rakaat ataupun di emapat rakaat.



Oleh sebab itu adalah mungkin Rasulullah saw juga shalat dua rakaat, kemudian mengucapkan tasyahhud dan memberi salam, tidak berbicara ataupun menyuruh sesuatu, lalu beliau shalat dua rakaat, mengucapkan tasyahhud dan memberi salam, baru kemudian istirahat. Maka terjadilah istirahat itu dalam setiap empat rakaat. Pendapat inilah yang dikerjakan oleh para sahabat, bahwa mereka beristirahat dalam setiap empat rakaat, yakni shalat dua rakaat dua rakaat, kemudian istirahat. (Betulkah shalat tarawih anda: 83).
Adapaun dalil-dalil yang dikemukakan dalam buku tersebut sebagai berikuyt ini. Sabda Rasulullah saw:
"Shalatul laili matsna matsna" artinya: "Shalat malam itu dua rakaat dua rakaat"

Dan sabdanya:
"Shalatul laili wannahaari matsna matsna" artinya: "Shalat malam dan siang itu dua rakaat dua rakaat". 1

(note 1 : Hadits ini dengan tambahan "dan siang" adalah salah, karena itu tidak boleh dijadikan hujjah. Penilaian ini diberikan oleh: An-Nasa-1, Ibnu Abdil Barr, Yahya bin Ma'ien dan Ad-Daraquthni. Adapaun Al-Khaththabi dan Al-Bariqi menerima tambahan tersebut dengan alasan "ziyadatuts tsiqati maqbulah"; tambahan dari rawi yang dipercaya itu diterima, Al-Baihaqi berkata: Hadits ini shahih. (Subulus Salam:2/9). )

Aysyah ra berkata artinya :
"Adalah Rasulullah saw shalat empat rakaat di waktu malam, lalu beliau istirahat dan berlangsung lama sehingga aku kasihan padanya"

Abu Ayyub berkata yang artinya:
"Sesungguhnya Rasulullah saw apabilamengerjakan shalat malam beliau kerjakan empat rakaat tidak berbicara dan tidak pula menyuruh sesuatu, beliau memberi salam setiap dua rakaat".

Hadits 1 diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, hadits 2 diriwayatkan Imam Ahmad, Abu Dawud, At0Tirmidzi, an-Nasai dan Ibnu Majah, Hadits 3 diriwayatkan al-Baihaqi dan hadits 4 diriwayatkan oleh Ahmad.
Imam asy-Syaukani dalam kitabnya "Nailul Authar" menyatakan bahwa hadits ke 4 yang diriwayatkan Imam Ahmad itu dha'if (lemah) karena dalam sanadnya ada seorang rawi namanya Washil bin as-Sa-ib, dia itu rawi dha'if. Lihat "Nailul Authar", juz3; hal 91.
Dalam memahami kandungan hadits Aisyah yang menjadi pokok bahasan, Ustadz Abdul Qadir Hassan (alm) mengemukakan sbb:
Maka kalau dalam satu riwayat dikatakan Nabi saw shalat 4 rakaat, atau 6 rakaat atau 8 rakaat dsb kita harus berpendirian bahwa:
a. yang 4 rakaat itu adalah 2 rakaat dua rakaat
b. yang 6 rakaat itu adalah 3 x 2 rakaar
c. yang 8 rakaat itu adalah 4 x 2 rakaat.

Kecuali kalau ada keterangan lain, baru dapat berobah dari pokok itu, umpamanya: Aisyah pernah meriwayatkan bahwa Rasululah saw pernah shalat malam 4 rakaat, kemudian 4 rakaat. Kalau kita berhenti sampai di situ saja, kita mesti berpendirian bahwa shalat itu dilakukan dengan dua rakaat, dua rakaat kemudian 2rakaat dua rakaat lagi. Tetapi dibelakang kedua-dua kali 4 rakaat itu, Aisyah berkata: "Jangan engkau bertanya bagusnya 4 rakaat itu dan tentang panjangnya", dan sesudah 4 rakaat yang pertama, Aisyah menggunakan kata-kata "kemudian", maka rakaat yang disebutkan bukan dua rakaat, dua rakaat tetapi 4 rakaat sambung menyambung (=langsung).
Lalu bagaimana sifat shalat 4 rakaat itu ?
Tentu kita mesti mengembalikan kepada pokok shalat yang ada dalam agama kita, yaitu shalat wajib yang lima kali sehari semalam, yakni subuh 2 rakaat, zhuhur 4 rakaat, ashar 4 rakaat, magrib 3 rakaat dan isya 4 rakaat.
Shalat zhuhur, ashar dan isya' adalah dengan 4 rakaat terus, dan dengan dua kali at-tahiyat, maka shalat malam yang 4 rakaat itu juga harus dengan 2 kali at-tahiyat.
Aisyah waktu meriwayatkan cara dan sifat nabi saw shalat, dari ulai takbir sampai salam ia berkata:
artinya: ".....dan adalah Nabi saw mengucap pada tiap-tiap dua rakaat, at-tahiyat....."

Riwayat Aisyah ini, dengan kata-katanya "tiap -tiap dua rakaat, at-tahiyat" itu menunjukkan bahwa shalat yang langsung 4 rakaat itu, harus ada dua kalai attahiyat. (kata berjawab 7:90-91). Selanjutnya dalam Kata Berjawab 7:59, dinyatakan sbb: Hadits (yaitu yang menerangkan 4 rakaat, 4 rakaat peny) disebut "Takhshish" (kecuali).
Jadi maksud hadits yang mengatakan "Shalat malam dan siang dua, dua rakaat itu, selaian shalat Tarawih/shalat tahajjud, boleh dikerjakan empat rakaat sekali salam.
Cara mendudukkan dua dalil yang nampaknya bertentangan (ta'arudh) ini dala ilmu ushul Fiqh disebut "Thariqatul-Jam-i".
Sekian kutipan dari kedua pendapat tentang pelaksanaan shalat lail, 2 rakaat, 2 rakaat atau 4 rakaat langsung dengan dua attahiyat. Setelah kita simak dan pelajari keduanya, ternyata yang kuat pendapat yang menyatakan "empat rakaat langsung dengan satu salam dan dua attahiyat".

Bersambung : Kaifiyat shalat witir...

Disalin dari buku SHIFAT DAN KAIFIYAT QIYAMUL-LAIL oleh Aliga Ramli, Lc

Rabu, 09 Desember 2009

QIYAMUL'LAIL [3]

RAKAAT QIYAMUL-LAIL

Bilangan rakaat Qiyamul-lail yang pernah dikerjakan oleh Rasulullah itu tidak lebih dari 13 rakaat; terdiri dari shalat iftitah, shalat lail dan shalat witir. Adapaun yang paling sedikit beliau kerjakan tidak kurang dari 7 rakaat; terdiri dari shalat lail dan shalat witir.

Untuk lebih jelasnya, marilah kita memperhatikan hadits-hadits berikut ini.

"Dari Ibnu Abbas, ia berkata: shalat Nabi saw tiga belas rakaat, yaitu shalat pada waktu malam" (HR Muslim)

"Dari Masruq, ia berkata: aku bertanya kepada Aisyah tentang shalat Rasulullah saw pada waktu malam hari. jawabnya: (Adakalanya) tujuh (rakaat) atau sembilan (rakaat) atau sebelas (rakaat) selain dua rakaat fajar" (HR. BUkhari).

"Dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah tidak pernah menambah shalatnya pada bulan Ramadhan dan tidak pula pada bulan yang lain dari sebelas rakaat" (HR. Bukhari dan Muslim)

Berdasarkan tiga riwayat di atas dapat disimpulkan bahwa Rasulullah saw tidak pernah mengerjakan qiyamul-lail lebih dari 11 rakkat, kecuali apabila beliau memulai shalatnya dengan 2 rakaat shalat iftitah.
Ada juga yang berpendapat bahwa Rasulullah saw pernah mengerjakan qiyamul lail 21 rakaat. Pendapat ini berdasarkan hadits berikut:

"Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah saw pernah shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan shalat witir" (HR. Ibnu Abi Syaibah).

Hadits ini tidak dapat dijadikan dalil, karena dha'if (lemah). Ibnu Hajar dalam kitab Fat-hul Bari IV/254 menerangkan bahwa hadits yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Abbas itu sanadnya dha'if. Sebelumnya Imam Az-Zaila'i juga telah menyatakan pernyataan yang sama dalam kitabnya Nashbur Rayah II: 153.


Syaikh M. Nashiruddin Al-Albani berkata: Hadits Ibnu Abbas lemah sekali, sebagaimana telah disebutkan dalam kitabnya shalatul Tarawih: 22.

Imam as-Suyuthi dalam kitabnya al-Hawi lil Fatawa II: 73 juga mengatakan bahwa hadits tersebut ada kelemahan dalam sanadnya.

Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya At-Taqrib menyatakan bahwa rawi dalam sanad hadits tersebut yang namanya Abu Syaiban Ibrahim bin Utsman itu Matrukul hadits; yaitu orang yang ditinggalkan atau tidak diambil hadits yang diriwayatkan olehnya.

Mengingat Rasulullah saw tidak pernah shalat lebih dari 11 rakaat selain shalat iftitah, bahkan justru pernah kurang, dapat diambil kesimpulan bahwa qiyamul-lail itu paling banyak 11 rakaat atau 13 rakaat dengan shalat iftitah.

Adapaun bilangan shalat lail Rasulullah saw paling banyak 10 rakaat dan paling
sedikitnya 2 rakaat. Ini dapat diketahui dari riwayat berikut:

"Dari al-Qasim bin Muhammad, ia berkata: Aku mendengar Aisyah berkata: Shalat Rasulullah saw pada waktu malam sepuluh rakaat dan beliau berwitir satu rakaat" (HR. Muslim).

Ketika Sa'ad bin Hisyam bertanya kepada Aisyah, beliau diantaranya menerangkan :

" Maka tatkala Rasullah saw sudah mencapai usia tua dan menjadi gemuk beliau shalat witir tujuh rakaat, beliau tidak duduk melainkan pada rakaat keenam dan ke tujuh dan tidak memberi salam melainkan pada rakaat yang ketujuh.Sesudah itu beliau shalat dua rakaat dengan duduk, maka bilangan rakaat yang dikerjakan beliau itu sembilan rakaat wahai nakku" (HR Abu Dawud).

Berdasarkan riwayat di atas, maka shalat-lail yang pernah dikerjakan Rasulullah saw itu 10 rakaat, 8 rakaat, 6 rakaat. 4 rakaat dan 2 rakaat.

Jadi shalat lail yang dikerjakan Rasulullah saw terbanyak 10 rakaat dan paling sedikit 2 rakaat. Setelah kita mengetahui bilangan shalat lail yang pernah dikerjakan Rasulullah, maka tinggallah bilangan shalat witir yang pernah beliau kerjakan.

Sekarang perhatikanlah riwayat berikut, disamping beberapa hadits yang sudah disebut-sebut sebelumnya.

" Dari Aisyah ia berkata, Rasulullah saw shalat malam sebelas rakaat, dari bilangan rakaat-rakaat itu beliau shalat witir satu rakaat" (HR. Muslim).

"Sa'ad bin Hisyam bertanya kepada Aisyah: Kabarkan kepadaku tentang shalat witir Rasulullah saw. Aisyah menjawab: Kami biasanya menyediakan alat penggosok gigi (siwak) dan air untuk bersuci beliau, lalu belaiau bangun pada waktu yang Allah kehendaki waktu malam, kemudian beliau bersiwak, berwudhu dan shalat sembilan rakaat, belaiu tidak duduk pada rakaat-rakaat itu melainkan pada rakaat kedelapan (duduk tashyahud), lalu berd-dzikirlah, bertahmid dan berdoa kepada Allah sesudah itu belaiu bangkit, tidak memberi salam, kemudian beliau berdiri lalu shalat rakaat kesembilan, kemudian duduk (tasyahud) berdzikir, bertahmid dan berdoa kepada Allah lalu memberi salam sehingga kedengaran kepada kami. Sesudah itu beliau shalat dua rakaat (shalat lail) dengan duduk. Yang demikian itu jadi sebelas rakaat hai anakku." (HR Muslim dan Ahmad).

Dua hadits di atas menerangkan bahwa shalat witir Rasulullah saw minimalnya 1 rakaat dan maksimalnya 9 rakaat. Dan hadits-hadits pada pembahasan sebelumnya juga telah menerangkan bahwa Rasulullah saw juga pernah shalat witir 3 rakaat, 5 rakaat dan 7 rakaat. Maka dengan ini disimpulkan :
1. Qiyamul-lail yang dikerjakan Rasulullah saw paling banyak (maksimalnya) 11 rakaat
atau 13 rakaat dengan shalat iftitah dan paling sedikit (minimalnya) 7 rakaat.
2. Shalat lail itu maksimalnya 10 rakaat dan minimalnya 2 rakaat.
3. Shalat witir itu maksimalnya 9 rakaat dan minimalnya 1 rakaat.

Bersambung : Kaifiyat qiyamul-lail .....

Disalin dari buku SHIFAT DAN KAIFIYAT QIYAMUL-LAIL oleh Aliga Ramli, Lc

Senin, 07 Desember 2009

QIYAMUL-LAIL [1]

PENGERTIAN QIYAMUL-LAIL

{Z7ZCE4NSAXTT}

Kata atau lafazh Qiyam apabila asalnya dari kata kerja (fi'il) qaa-ma, artinya : tegak atau berdiri. Kata qiyam juga merupakan bentuk jama' dari kata qaa-imun, artinya: yang tegak, yang berdiri.
Kata atau kalimat Lail dalam bahasa Indonesia biasanya diartikan malam, yaitu masa atau waktu yang datang sesudah siang. Maka yang disebut malam adalah masa yang terbentang dari sejak terbenam matahari hingga terbitnya.

Adapaun yang dimaksud dengan "qiyam" dalam bahasan ini adalah shalat. Adapun shalat disebut qiyam, karena pada asalnya shalat itu harus dikerjakan berdiri. Jadi yang dimaksud dengan qiyamul-lail ialah shalat yang dikerjakan pada waktu malam dengan shifat, kaifiyat dan rakaat tertentu sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Berkenaan dengan qiyamul-lail ini Allah berfirman dalam Al-Furqon : 63-64 yang artinya :
"Dan hamba-hamba Allah yang Maha penyayang (ialah) mereka yang berjalan di permukaan bumi ini dengan merendah diri, dan apabila orang-orang jahil mengajak mereka berbicara (dengan perkataan yang tidak sopan), mereka menjawab dengan perkataan yang sopan. Dan mereka itu apabila pada waktu malam hari bersujud dan berdiri (shalat) karena (ikhlas) kepada Tuhan mereka."

Kata "yabie-tuu-na" asalnya dari kata "baa-ta; yabie-tu", artinya: mendapatkan atau melalui waktu malam, baik tidur atau tidak. Adapun kata "sujjadan", artinya: sujud dengan meletakkan dahi pada tempat sujud; dan "qiyaa-man", artinya: berdiri pada kaki. Keduanya merupakan bagian dari kaifiyat shalat, tetapi yang dimaksud adalah shalat itu sendiri.
Al-Mughirah bin Syu'bah berkata:
"Rasulullah saw berdiri (sholat pada waktu malam) sehingga kedua kaki beliau bengkak. Maka beliau ditanya; Bukankah Allah telah mengampuni-mu dosa yang telah lalu dan yang akan datang? Beliau menjawab: Apakah tidak sepatutnya aku menjadi seorang hamba yang bersyukur" (HR. Bukhari dan Muslim).

"Qaa-ma" yang menyebabkan kedua kaki Rasulullah itu bengkak, adalah sholat yang didalamnya beliau membaca surah-surah yang panjang sehingga waktu berdirinya itu lama. Berdasarkan dua keterangan di atas jelaslah bahwa baik Al-Qur'an maupun hadits menggunakan kata (qaa-ma; yaquu-mu; qiyaa-man) juga untuk sholat. Perlu diperhatikan bahwa yang disebut Qiyamul-lail itu terdiri dari:

Pertama: Shalatul-lail; yaitu sholat yang dikerjakan dengan rakaat yang genap.
Kedua: Shalatul-witri; yaitu shalat yang dikerjakan dengan rakaat yang ganjil.


Untuk lebih jelasnya marilah kita perhatikan hadits berikut ini. Rasulullah bersabda:
"Apabila fajar telah terbit, habislah waktu bagi shalatul-lail dan shalatul-witri, maka berwitirlah sebelum terbit fajar" (HR. Tirmidzi).

Aisyah berkata:
"Rasululah shalat pada waktu malam tiga belas rakaat dan beliau ber-witir dari (tiga belas rakaat) itu lima (rakaat), beliau tidak duduk pada rakaat-rakaat itu melainkan pada yang terakhir ." (HR. Bukhari dan Muslim).

Berdasarkan hadits di atas dapat disimpulkan bahwa Qiyamul lail itu terdiri dari shalatul-lail dan shalatul witri.

Shalat iftitah

Shalat iftitah adalah shalat 2 rakaat yang boleh dikerjakan sebelum melaksanakan qiyamul-lail. Bagi seseorang yang akan mengerjakan Qiyamul-lail boleh memulai dengan 2 rakaat shalat iftitah, tetapi boleh juga tidak. Jadi shalat iftitah itu hanya berhubungan dengan qiyamul-lail, dan tidak ada hubungannya dengan shalat-shalat sunnat yang lain. Rasulullah bersabda:
"Apabila salah seorang dari kamu akan shalat pada waktu malam, hendaklah memulai shalatnya dengan 2 rakaat yang ringan" (HR. Ahmad dan Muslim).

Dari Aisyah berkata: " Rasulullah apabila shalat pada waktu malam (qiyamul-lail) memulai shalatnya dengan 2 rakkat yang ringan " (HR. Ahmad, Muslim dan Abu Dawud).

Nama - nama Qiyamul-lail

Qiyamul-lail memiliki beberapa nama, tetapi hakekatnya satu. Di antara nama-nama itu adalah :

1. Shalat Tahajjud

Qiyamul-lail apabila dikerjakan sesudah tidur pada malam hari, disebut Shalat Tahajjud. Tahajjud asalnya dari kata kerja (fi'il) tahajjada, artinya: bangun tidur. Firman Allah dalam Al-Isra': 79 :
"Dan pada sebagian malam hendaklah engkau ber-tahajjud (bangun untuk shalat), sebagai tambahan (shalat sunnat) bagimu, niscaya Tuhan-mu akan bangkitkanmu pada kedudukan yang terpuji."

2. Qiyamu Ramadhan

Qiyamul-lail yang dikerjakan pada malam bulan Ramadhan disebut Qiyamu Ramadhan. Dalam salah satu hadits diriwayatkan:
"Abu Hurairah berkata: Rasulullah saw menggemarkan (ummat Islam) mengerjakan qiyamu Ramadhan dengan perintah yang tidak keras" (HR Bukhari)

3. Shalat Tarawih

Qiyamul-lail yang dikerjakan pada malam bulan Ramadhan sering juga disebut Shalat Tarawih. Penamaan dengan shalat tarawih ini tidak kita jumpai dalam hadits-hadits, sebab hal tersebut merupakan istinbathiyyah dari riwayat berikut ini :
"Rasululaah saw pernah mengerjakan shalat 4 rakaat pada waktu malam, kemudian beliau bersenang-senang (istirahat) lama sekali sehingga aku merasa sayang padanya" (HR Baihaqi).

Dalam riwayat di atas terdapat lafazh "yataraw-wahu" yang artinya istirahat pada tiap-tiap selesai mengerjakan 4 rakaat. Dari lafazh tersebut kemudian di-istinbath sehingga timbullah istilah shalat tarawih walaupun terkadang pelaksanaannya tidak istirahat pada setiap selesai 4 rakaat.
Tersebut dalam riwayat lain sbb :
"Dasri Ibnu Abbas, ia berkata: Aku bermalam di rumah bibikku Maimunah bibti al-Harits, istri Nabi saw pada malam harinya Nabi saw. giliran tidur di ruamhnya Nabi Saw shalt isya', kemudian beliau pulang lalu shalt 4 rakaat, sesudah itu beliau tidur. Beliau kemudian bangun dan berkata: masih tidur anak muda itu (Ibnu Abbas) atau ucapan yang serupa itu, sesudah itu beliau berdiri, lalu aku berdiri pula di samping sebelah kirinya, kemudian beliau memindahkanku ke sebelah kanannya, lastas beliau shalat 5 rakaat, sesudah itu shalat (lagi) 2 rakaat, kemudian beliau tidur sehingga aku mendengar suara dengkurnya, sesudah bagun beliau pergi shalat (ke masjid). (HR. Bukhari).

Memperhatikan hadits di atas bahwa bentuk istirahat setelah selesai 4 rakaat itu di antaranya tidur. Adapaun bentuk-bentuk lain dapat disesuaikan dengan kepentingan, selama bermanfaat untuk ummat, seperti: ceramah dan lainnya.

4. Shalat Lail

Qiyamul-lail disebut shalat lail, karena waktu mengerjakannya pada waktu malam hari. Imam Muslim meriwayatkan shalat yang dikerjakan Rasulullah dengan berjamaah pada malam bulan Ramadhan selam 3 malam dan pada malam ke 4 beliau tidak keluar untuk mengimami shalat, maka pagi harinya ditanya , beliau menjawab:
"Tetapi aku khawatir shalat lail itu diwajibkan atas kamu"

5. Shalat Witir

Qiyamul-lail disebut shalat witir karena jumlah rakaatnya ganjil. Imam Ibnu Hibban meriwayatkan peristiwa shalat Rasulullah di Masjid sebagaimana telah disebutkan di atas denga lafazh sebagai berikut yang artinya :"Sesungguhnya aku khawatir shalat witir itu diwajibkan atas kamu"

Shalat yang dikerjakan oleh Rasulullah dengan berjamaah di Masjid selama 3 malam itu adalah Qiyamu Ramadhan atau Qiyamul-lail. Adapaun jawaban Rasulullah ada yang meriwayatkan dengan lafazh "Shalat Lail" dan "Shalat witir". Ini menunjukkan bahwa Qiyamul-lail itu boleh disebut shalat lail apabila ditinjau dari segi waktu pelaksanaannya dan boleh disebut shalat witir bila dilihat dari jumlah raka'atnya.


Bersambung : Hukum Qiyamul lail....

Disalin dari buku SHIFAT DAN KAIFIYAT QIYAMUL-LAIL oleh Aliga Ramli, Lc