Kamis, 10 Desember 2009

QIYAMUL-LAIL [4-A]

Qiyamul-lail kaifiyat pelaksanaannya ada beberapa cara. Karena qiyamul-lail itu terdiri dari shalat-lail dan shalat witir yang masing-masing memiliki tata-cara sendiri-sendiri, maka pembahasannyapun harus terpisah.

KAIFIYAT QIYAMUL-LAIL

Dalam pembahasan terdahulu kita telah mengetahui kadar bilangan rakaat shalat lail disamping juga hubungannya dengan shalat witir. Berikut ini tata-cra melaksanakan shalat lail.

Pertama : Memberi salam pada tiap-tiap dua rakaat.

Cara ini berdasarkan hadits-hadits berikut:
"Dari Ibnu Umar, ia menceritakan bahwa Rasulullah saw telah bersabda: shalat lail itu dua (rakaat) dua (rakaat). apabila engkau tahu bahwa waktu subuh akan tiba, hendaklah engkau kerjakan shalat witir satu rakaat. Ibnu Umar ditanya: Apa yang dimaksud dua-dua itu ? Ia menjawab : yaitu memberi salam tiap-tiap dua rakaat." (HR. Muslim).

"Dari Ibnu Umar bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw tentang shalat lail. Rasulullah bersabda: shalat lail itu dua-dua. Apabila kamu takut waktu subuh segera datang kerjakanlah shalat satu rakaat, mengganjilkan bagi shalat yang telah lalu." ( HR. Bukhari dan Muslim).

Dua hadits di atas dan beberapa hadits, baik yang sudah pernah diterangkan dalam pembahasan terdahulu atau yang belum, menunjukkan bahwa salah satu cara shalat lail memberi salam setiap dua rakaat. Cara ini tidak terdapat perbedaan pendapat atau perselisihan di antara umat Islam. Oleh sebab itu cara ini pula yang banyak diamalkan oleh umat Islam, baik dalam bulan Ramadhan atau selain bulan Ramadhan.



Kedua : Memberi salam pada tiap-tiap empat rakaat.

Cara ini didasarkan pada riwayat berikut :
"Dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah saw tidak pernah menambah (rakaat shalatnya) pada bulan Ramadhan dan tidak pula pada bulan yang lain dari sebelas rakaat; beliau shalat empat rakaat, jangan engkau tanya tentang bagus dan panjangnya; kemudia beliau shalat empat rakkat (lagi), jangan engkau tanya tentang bagus dan panjangnya, sesudah itu beliau shalat tiga (rakkat)." (HR Bukhari dan Muslim).

Zhahir hadits ini menunjukkan bahwa disebutnya 4 rakaat, kemudian 4 rakaat itu memberi arti setiap 4 rakaat memberi salam. Maka berdasarkan hadits di atas, shalat lail itu dapat pula dikerjakan 4 rakaat satu salam. Walaupun zhahir hadits di atas menunjukkan demikian, tetapi umat Islam berbeda pendapat dalam memahami kandungan hadits tersebut, perbedaan ini mencakup dua golongan:
Golongan pertama :Shalat lail boleh dikerjakan tiap-tiap 4 rakaat satu salam.
Golongan ini setelah sepakat bahwa shalat lail itu boleh 4 rakaat dengan satu salam, berbeda pendapat tentang pelaksanaannya.
a. Pendapat pertama menyatakan bahwa 4 rakaat itu langsung tanpa duduk tasyahhud
awal pada rakaat kedua. Dasar dan alasannya adalah :
1. Hadits Aisyah tersebut mutlak, tidak menyebutkan adanya duduk tasyahhud awal,
maka kita harus berpegang kepada kemutlakannya.
2. Apabila duduk tasyahhud awal pada rakaat kedua, maka akan menyerupai shalat
wajib seperti Zhuhur, Ashar dan Isya'.

b. Pendapat kedua menyatakan bahwa 4 rakaat itu wajib duduk tasyahhud awal pada
rakaat kedua. Dasar dan alasan pendapat ini adalah :
1. Hadits Aisyah yang menerangkan shalat lail 4 rakaat, 4 rakaat itu mutlak. Kita tidak
boleh berpegang kepada kemutlakannya sebelum mencari muqayyadnya.
Mutlak itu ialah sesuatu yang menunjukkan kepada suatu hakekat atau kenyataan
atau suatu pengertian tanpa qaid (ikatan) yang mengikat, juga tanpa memandang
pada bilangan tertentu.
Adapun muqayyad, ialah: sesuatu yang menunjukkan kepada suatu hakekat yang
sudah terikat dengan suatu ikatan seperti sifat, keadaan atau lail-lain ikatan.
Dalam hadits yang menjadi pokok pembahasan ini disebutkan "beliau shalat
empat rakaat". Kata "emapat" itu mutlak, sebab hanya menunjukkan pada
bilangan tertentu tanpa diterangkan sifatnya atau caranya. Dalam hadits tersebut
tidak diterangkan, apakah pada rakaat keempat itu duduk untuk tasyahhud akhir
atau tidak. Untuk menetapkan adanya tasyahhud akhir diperlukan keterangan atau
dalil lain. Karena itu untuk menetapkan adanya tasyahhud awal pada shalat lail
yang empat rakaat itu perlu mendatangkan dalil lain. Setelah diperiksan ternyata
ada hadits berikut ini.

" Dari az-Zuhri, ia berkata: telah menceritakan kepadaku Abu Bakar bin Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam dan Abu Salamah bin Abdurrahman bahwa Abu Hurairah bertakbir pada tia-tiap shalat, ayitu shalat wajib atau lainnya (shalat sunnat) pada bulan Ramadhan atau pada bulan lainnya; dia bertakbir ketika berdiri (memulai shalat), bertakbir ketika ruku', membaca sami'allahu liman hamidah (ketika bangkit dari ruku'), membaca rabbana wa lakah hamdu (ketika berdiri) sebelum sujud, bertakbir ketika menuju sujud, bertakbir ketika bangkit dari sujud, bertakbir ketika akan sujud, bertakbir ketika bangkit dari sujud (kedua), kemudian bertakbir ketika bangkit dari duduk pada dua rakaat (tasyahud awal), dan dia berbuat demikian itu pada tiap-tiap rakaat hingga selesai shalatnya, lalu ketika sudah selesai dia berkata: Demi yang ditiru dalam kekuasaan- Nya, sesungguhnya aku orang yang paling hampir menyerupai shalat Rasulullah saw dari antara kamu sekalian. Sesungguhnya inilah cara shalat beliau hingga meninggal dunia." (HR. Bukhari)

Hadits ini menunjukkan bahwa tasyahhud awal itu adanya pada shalat yang lebih dari 2 rakkat pada rakaat kedua. Ini berlaku untuk semua shalat, baik shalat wajib maupun shalat sunnat. Kita diperintah agar mencontoh shalat Rasulullah saw dengan sabdanya:

"shalluu kamaa ra aitumuunii ushallii" Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kalian melihat/tahu aku shalat (HR. Bukhari).

Jadi, duduk tasyahhud awal pada rakaat kedua itu hukumnya wajib sebab demikianlah shalat Rasulullah saw. Ketentuan ini dapat berubah terhadap shalat tertentu apabila ada dalil yang tegas mengkhususkannya. Contohnya seperti:

"Dari Aisyah ia berkata: Rasulullah saw shalat witir tiga rakaat, beliau tidak duduk melainkan pada rakaat yang paling akhir" (HR. Ahmad, an-Nasai dan Baihaqi).

Hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Imam Bukhari di atas merupakan qaid (pengikat) bagi hadits Aisyah yang mutlak. Dan yang berlaku juga sebagai qaid ialah hadits Aisyah yang menerangkan tentang sifat shalat Rasulullah saw. Aisyah berkata:

"Dan beliau (Rasulullah saw) membaca "At-Tahiyyat" pada tiap-tiap dua rakaat" (HR Muslim).

Dalam kitab Bulughul Maram, Ibnu Hajar setelah meriwayatkan hadits di atas berkata :

"rawahu muslimun wa lahu 'illatun" artinya: Diriwayatkan hadits ini oleh Imam Muslim tetapi baginya ada "illat"

Perkataan "illat" itu boleh bermakna "penyakit" atau "cacat" dan boleh juga dengan arti "ada pembicaraan". Hadits tersebut diriwayatkan dari jalan Abul-Jauza", dari Aisyah. Ibnu Abdil Barr berkata: Hadits ini mursal (yakni lemah) karena Abu Jauza' tidak mendengarnya dari Aisyah, berarti hadits tersebut sanadnya tidak bersambung/putus. Pernyataan ini tertulis dalam kitab Subulus Salam 1:221.
Tetapi Ja'far al-Firyabi dalam kitabnya "ash-Shalah" meriwayatkan demikian:

"Telah menceritakan kepada kami, Muzahim bin Sa'id, telah menceritakan kepada kami, Ibnul Mubarak, telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Thuhman, telah menceritakan kepada kami Budail al 'Uqaili dari Abul Jauza', ia berkata: aku mengutus orang kepada Aisyah menanyakannya (yaitu sifat shalat Nabi saw). lalu dia (Abul Jauza') menceritakan hadits tersebut.

Dalam kitab Subulus Salam 1:221 ash-Shan'ani berkata: Muslim meriwayatkan juga hadits tersebut dari jalan Al-Auza'i dengan cara mukatabah.

Mukatabah ialah salah satu cara menerima hadits dari orang lain, yaitu seseoarang menuliskan hadits kepada orang lain dan diizinkan untuk meriwayatkannya. Karena rawi-rawi hadits tersebut serta cara penerimaanya sudah memenuhi syarat, maka hadits tersebut dapat dijadikan dalil. Kandungan hadits Muslim di atas dikuatkan oleh hadits riwayat Imam Ahmad, bahwa Rasulullah telah bersabda"

"Apabila kamu duduk pada tiap-tiap dua rakaat, bacalah "at-Tahiyyatu lillah..." (HR. Ahmad, no. 4017, 4160,4383).

Maka berdasarkan hadits-hadits sebagaimana telah disebutkan di atas dapat disimpulkan, bahwa shalat lail yang 4 rakaat itu wajib pada rakaat kedua duduk untuk membaca tasyahhud awal. Menetapkan tasyahhud akhir yang tidak disebut-sebut dalam riwayat Aisyah tentang shalat lail 4 rakaat itupun harus dengan dalil. Abu Humaid as-Sa'idi berkata: Aku pernah melihat Rasulullah saw:

".....dan apabila beliau duduk (at-Tahiyyat) di rakaat kedua, beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya, dan apabila duduk di rakaat akhir, beliau majukan kaki kirinya dan menegakkan yang lain lalu neliau duduk atas punggungnya. " (HR Bukhari).

Demikian juga menutup shalat dengan salam berdasarkan hadits:

"Dan beliau (nabi saw) menyudahi shalat dengan salam " (HR. Muslim)

Maka jelaslah ungkapan "tidak boleh berpegang kepada yang mutlak sebelum berusaha mendapatkan muqayyadnya". Mutlak itu boleh diamalkan apabila ada muqayyadnya , tetapi apabila ada muqayyadnya maka yang harus diamalkan ialah kandungan muqayyad sebagaimana masalah di atas.


Bersambung : dasar alasan kedua dari pendapat yang menyatakan bahwa 4 rakaat itu wajib duduk tasyahhud awal pada rakaat ke dua....

Disalin dari buku SHIFAT DAN KAIFIYAT QIYAMUL-LAIL oleh Aliga Ramli, Lc


Tidak ada komentar:

Posting Komentar