(Al Fikrah No.02 Thn VII/06 Ramadhan 1427 H)
Salah satu fenomena yang cukup menyejukkan pandangan dalam bulan Ramadhan adalah maraknya masjid-masjid dikunjungi oleh jamaah untuk mengerjakan shalat. Namun perlu untuk diperhatikan, bahwa ternyata, tidak semua masjid layak untuk kita gunakan mengerjakan shalat, baik yang wajib maupun sunnah.
Di antara penyebabnya adalah adanya kuburan dalam masjid tersebut atau di sekitar masjid tersebut. Sebagian orang membolehkan shalat di masjid yang dibangun di atas kuburan dengan dalih kuburan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berada dalam masjid Nabawi. Masalahnya adalah bolehkah berdalil dengan posisi kuburan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tersebut yang kini telah berada dalam masjid Nabawi? Bagaimana histori masuknya kuburan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tersebut ke dalam masjid Nabawi?
Sakit dan wafatnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
Lima hari sebelum beliau wafat, yaitu pada hari Rabu beliau masuk ke dalam masjid lalu duduk di atas mimbar dan berkhutbah di hadapan sahabat, beliau berkata,
áóÚúäóÉõ Çááåö Úóáóì ÇáúíóåõæúÏö æóÇáäøóÕóÇÑóì ÇÊøóÎóÐõæúÇ ÞõÈõæúÑó ÃóäúÈöíóÇÆöåöãú ãóÓóÇÌöÏó
“Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashara, mereka telah menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat lain dikatakan,
ÞóÇÊóáó Çááåõ ÇáúíóåõæúÏó ÇöÊøóÎóÐõæúÇ ÞõÈõæúÑó ÃóäúÈöíóÇÆöåöãú ãóÓóÇÌöÏó
“Semoga Allah memerangi orang-orang Yahudi, mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kemudian beliau berkata, ”Janganlah kalian jadikan kuburanku sebagai berhala yang disembah.”
Setelah menyampaikan beberapa hal, beliau turun dari mimbar untuk shalat zhuhur, kemudian beliau duduk kembali di atas mimbar dan mengulangi perkataannya yang sebelumnya.
Penyakit Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam terus makin parah dan makin berat sampai beliau menutupkan pakaiannya ke wajahnya, lalu beliau buka kembali dan berwasiat, “Laknat Allah atas orang-orang Yahudi dan Nashara, mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid.”
Detik-detik Menjelang Wafat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
Menjelang wafatnya, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam memasukkan kedua tangannya ke dalam sebuah bejana yang berisi air kemudian mengusapkannya ke wajahnya sambil berkata, “La ilaaha illallah, sesungguhnya kematian itu mengalami sekarat.” Tak berapa lama setelah bersiwak, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengangkat tangan atau jarinya dan menatapkan pandangannya ke atap, kedua bibirnya bergerak membaca doa. Kemudian tangannya miring dan beliau pun akhirnya menjumpai Kekasihnya yang Maha Tinggi Allah Subhaanahu Wa Ta'ala.
Kejadian ini berlangsung pada saat waktu dhuha sedang panas-panasnya, yaitu pada hari Senin tanggal 12 Rabi'ul Awal 11 H., setelah umur beliau mencapai 63 tahun empat hari.
Prosesi Penguburan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
Para sahabat berselisih tentang tempat pemakaman Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam sampai Abu Bakar Radhiyallahu 'Anhu berkata, “Sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda: “Tidaklah seorang Nabi wafat kecuali dikubur di tempat ia wafat”. (HR. Ahmad dan Ibnu Mâjah).
Maka Abu Thalhah mengangkat kasur dalam kamar Aisyah Radhiyallahu 'Anha yang dipakai Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam pada saat wafat lalu menggali tanah yang ada di bawahnya, dan membentuk liang lahad. Adapun kamar Aisyah terletak di sebelah timur Masjid Nabawi di sudut kiri depan masjid.
Renovasi dan Perluasan Masjid Nabawi dan Masuknya Kuburan ke Dalamnya
Sejalan dengan jumlah kaum muslimin yang semakin bertambah, Masjid Nabawi pun beberapa kali mengalami perluasan. Ketika al-Walîd bin Abdul Mâlik memegang tampuk pemerintahan Dinasti Banî Umayyah (86-96 H.), pada tahun 91 H., renovasi dan perluasan Masjid Nabawi akhirnya mencakup kamar Aisyah tempat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, Abu Bakar Radhiyallahu 'Anhu dan Umar Radhiyallahu 'Anhu dimakamkan. Maka sejak saat itu hingga kini, kubur Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam masuk ke dalam masjid.
Kesalahan dalam perencanaan renovasi ini karena bertentangan dengan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bahkan wasiat beliau yang terakhir disampaikan sebelum wafatnya, akhirnya mereka sadari. Karena itu, mereka berusaha untuk mengurangi celah penyimpangan aqidah dengan memagari hujrah tersebut dengan pagar berbentuk segi tiga yang memanjang ke arah utara, belakang kubur agar seseorang yang ingin shalat menghadap ke kuburnya tidak dapat melakukannya. (Tâhzîrus Sâjid, hal. 65-66).
Pada masa pemerintahan Dinasti Utsmâniyah, tahun 1813 M, Sultan Mahmud II membangun sebuah kubah baru berwarna hijau di atas kamar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang masih tetap kokoh hingga kini yang kian menambah fenomena baru dalam kuburan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, yang tidak di ridhai oleh penghuni kubur tersebut.
Jawaban Terhadap Syubhat
Fenomena masuknya kubur Rasululullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, Abu Bakar As-Siddiq dan Umar bin Khattab Radhiyallahu 'Anhu ke dalam Masjid Nabawi telah menjadi salah satu alasan bagi sebagian orang untuk menguburkan atau mempertahankan kuburan yang ada di dalam, atau di depan masjid, atau membolehkan untuk tetap shalat di masjid-masjid seperti itu, meskipun Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah melarang bahkan melaknat perbuatan tersebut dalam banyak hadits shahihnya, antara lain;
"Ingatlah! Janganlah kalian menjadikan kubur sebagai masjid, sungguh aku melarang kalian dari hal itu.”
”Ya Allah! Janganlah Engkau biarkan kuburanku sebagai berhala yang disembah. Semoga Allah melaknat kaum yang menjadikan kuburan nabi mereka sebagai masjid."
“Sesungguhnya orang yang terburuk adalah orang yang masih hidup pada saat terjadi kiamat dan orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid.”
Di antaranya telah kami sebutkan pada bagian awal tulisan ini.
Yang mungkin dipahami dari kalimat "menjadikan kuburan sebagai masjid" adalah tiga pengertian:
* Shalat di atas makam, dengan pengertian sujud di atasnya.
* Sujud dengan menghadap ke arahnya dan menjadikannya kiblat shalat dan doa.
* Mendirikan masjid di atas makam dengan tujuan mengerjakan shalat di dalamnya.
Hadits-hadits tersebut melarang keras praktik menguburkan mayat atau mempertahankan kuburan yang ada di masjid-masjid. Sementara berhujjah dengan fenomena kuburan Rasululullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, Abû Bakar As-Shiddîq dan Umar bin Khatthâb Radhiyallahu 'Anhu yang ada di Masjid Nabawi tidak dapat diterima, karena beberapa hal;
* Masjid Nabawi tidak dibangun di atas kuburan, bahkan beliaulah bersama para sahabat termasuk Abû Bakar As-Shiddîq dan Umar bin Khattâb, yang membangunnya semasa hidupnya.
* Mereka tidak dikuburkan di dalam masjid, mereka hanya dikuburkan di kamar Aisyah Radhiyallahu 'Anhu yang terletak di sebelah timur masjid.
* Proses masuknya kuburan-kuburan tersebut bukan dilakukan oleh orang-orang yang perbuatannya menjadi hujjah dan patokan, bukan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan bukan pula Khulafâur-Râsyidîn yang praktik dan perbutannya merupakan hujjah. Dan tidak pula terjadi pada zaman mereka, bahkan terjadi setelah mereka dan kebanyakan sahabat yang tinggal di Madinah telah wafat. Karena sahabat yang berdomisili di Madinah yang terakhir wafat adalah Jâbir bin Abdullâh pada tahun 78 H (Tâhdzîrus Sâjid, hal. 59.). Sedangkan renovasi Umar bin Abdul Azîz atas instruksi Al-Walîd bin Abdul Mâlik yang merambah ke kuburan tersebut terjadi setelahnya pada tahun 91 H.
*Kuburan tersebut setelah masuk ke dalam masjid, tetap tidak memungkinkan seseorang untuk menjadikannya sebagai watsan yu’bad (berhala yang disembah) karena dipagar dengan pagar segi tiga yang salah satu seginya memanjang ke belakang, atau ke arah utara, sehingga seseorang yang ingin shalat menghadap kepadanya akan melenceng dari arah kiblat.
* Pagar tersebut telah menjadi wujud dari doa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam,
”Ya Allah! Janganlah Engkau biarkan kuburanku sebagai berhala yang disembah.”
Karena Al-Watsan adalah berhala yang disembah oleh orang dari jarak dekat, sementara pagar tersebut telah menghalau niat tersebut (Adhwâul Bayân, 5/498-499, Asy-Syinqithi).
Bolehkah Tetap Shalat di Masjid Nabawi Sekarang?
Larangan shalat di masjid yang terdapat kubur di dalamnya, atau di depannya, atau yang dibangun di atas kubur, sama sekali tidak mencakup larangan shalat di Masjid Nabawi, karena ia memiliki keistimewaan yang tidak terdapat pada masjid lain karena shalat di dalamnya diberi ganjaran seribu kali dibanding dengan shalat di masjid lain, ia merupakan tempat yang dianjurkan untuk dikunjungi walaupun dari jauh, di dalamnya terdapat raudhah (taman) yang merupakan salah satu taman di antara taman-taman surga dan lain-lain.
Syaikh Al Albani menukil perkataan Syaikhul Islam ibnu Taimiyah bahwa beliau berkata, "Shalat di masjid yang dibangun di atas kuburan secara mutlak dilarang, berbeda dengan masjid Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Sebab shalat di masjid beliau ini sama dengan seribu shalat, karena ia didirikan berdasarkan ketakwaan."
Beliau melanjutkan, "Barangsiapa yang berkeyakinan bahwa masjid tersebut sebelum ada makam di dalamnya tidak memiliki keutamaan, karena Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengerjakan shalat di dalamnya bersama orang-orang Muhajirin dan Anshar, tetapi keutamaan itu baru muncul pada masa kekhalifahan al Walîd bin Abdul Mâlik, setelah dimasukkannya kamar di mana Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam meninggal ke dalam masjid beliau,maka dia sudah mendustakan apa yang dibawa dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan dia berhak untuk diperangi."
Syaikhul Islam juga menjelaskan tentang sebab dibolehkannya shalat yang dikerjakan karena suatu sebab pada waktu-waktu yang dilarang mengerjakan shalat (seperti shalat sunnah setelah shalat Ashar, dibolehkan ketika seseorang masuk ke dalam masjid dan ingin mengerjakan shalat tahiyyatul masjid—red.), karena dengan melarangnya, akan menghilangkan kesempatan shalat tersebut, di mana tidak mungkin untuk mendapatkan keutamaannya karena telah tertinggal waktunya. Demikian juga shalat di masjid Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam." Wallâhu A'lâ wa A'lam.
Sumber:
Diringkas dari makalah berjudul "Histori Kuburan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam Tinjauan Aqidah" Karya Abu Yahya Salahuddin Guntung, Lc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar